Ada
harapan di balik senyum dan tawa mereka, aku yakin suatu saat mereka akan
mendapatkan kesempatan yang sama. Awalnya memang sulit dan aku merasa apakah
aku bisa beradaptasi dengan mereka?
Tahun
ini, tahun pertama aku benar-benar terjun dalam dunia pendidikan. Ini semua
terjadi ketika aku berusaha mencari pekerjaan, karena memang aku ingin sekali
megajar , tahun ini adalah kesempatanku untuk mengenal lebih jauh tentang dunia
pendidikan.
Aku
mengajar di sebuah sekolah yang terpencil, di sebuah desa di pegunungan dan
jauh dari kota. Awalnya aku merasa tak sanggup melawati jalannya yag seperti
ninja hatori, kemampuanku dalam mengendarai sepeda motor sangat minim. Nekat saja,
bahwa aku bisa melewati jalan itu, dan sampai di sekolah dengan harapan
selamat. Sekolahnya memang kecil, muridnya baru 2 kelas. Sekolah SMP
satu-satunya di tempat itu. Kadang aku berpikir jika nanti mereka lulus,
bagaimana mereka melanjutkan ke SMA. berat memang mengajar di sana, kyrangnya
kesadaran akan pentingnya pendidikan, menjadi kerja keras yang utama ketika
mengajar. Guru-guru di sana, pengetahuan dan daya ingat mereka sangat minim,
tiap ulangan pasti mendapat nilai do re mi. mendengar hal itu, aku merasa kaget
dan aku sendiri gak mau anak-anak nilainya do re mi. aku siapkan strategi
mengajarku agar daya ingat anak-anak tidak mudah lupa, setiap selesai
pembasahan tiap anak aku Tanya, setiap selesai pelajaran tidak lupa aku
memberikan PR kepada mereka. Alhasil memang benar saja, bahkan mereka selelu
lupa mengerjakan PR yang aku berikan. Rasanya kecewa anak-anak kurang respon,
apa mungkin caraku ada yang salah? Satu kali kesalahan aku maafkan, karena dua
kali masih melakukan kesalahan maka aku akan menghukum mereka dengan lari di
lapangan. Yah sedikit berhasil memang, mereka mengerjakan tugas. Tapi dari 5
soal yang ak berikan rata-rata hanya mengerjakan 2 soal saja. Aku imin-imingi
hadiah bagi anak terajin akan mendapat hadiah special dan nilai yang bagus. Akhirnya
PR pn di kerjakan dan alhasil sebagian dari anak berhasil dengan benar
mnegerjakan tugas yang saya berikan. Tiba saatnya ulangan tiba, aku percaya
diri bahwa nilai mereka akan bagus. Anak-anak menyambut dengan gembira akan
adanya ulangan. Memang saya percaya mereka bisa, dan pada kahirnya saat ulangan
berjalan, aku melihat beberapa anak yang begitu kesulitan mengerjakan soal. “bu aku tak mengahapal! Aku lupa semua rumus
nya”
Aku
hanya tersenyum, dan berkata “ibu sudah
memberi tahu, kerjakan dengan serius”. Aku benar-benar heran kenapa bisa
begini, kenapa mereka begitu kesulitan, apa benar yang di katakana guru-guru
yang lain. Dengan sabar aku menunggu anak-anak mengerjakan tugas. Tingkahya banyak
yang aneh kadang nyeleneh dan bikin geli di hati, yang satu duduk di lantai
sambil berpikir. Yang satu menjeduk-jedukan kepala ke meja, dan yang lainnya
ada juga yang gigit-gigit pulpen. Harapan untuk melihat mereka mendapat nilai
bagus pupus, melihat mereka begitu saja aku agak kecewa, antusias
penyambutanpun rasanya gimana gitu?
Saat
aku pulang ke rumah, menilai hasil ulangan mereka bukan hanya nilai do re mi
saja. Rata-rata nilai mereka mendapatkan nilai donat. Kecewa ku memuncak,
merasa gagal mendidik mereka. Merasa gak berguna datang dari jauh, perjalanan
satu jam, hanya sedikit saja anak yang mengerti tentang pelajaran ini. Sungguh membuat
bingung.
Hari
berikutnya aku pergi ke sekolah, rasa kecewa di selimuti marah hilang begitu
saja ketika melihat mereka tersenyum, sudahlah marahnya tak jadi. Aku hanya
mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan mengikuti remedial. Tapi aku ganti
bukan tes tertulis rugi nanti dapat nilai yang begitu lagi, kali ini aku ganti
jadi tes lisan. Hari itu aku bahas semua soal yang menjadi soal ulangan pertama
pada anak-anak. Semua terasa mudah, tapi anak-anak hanya bilang “oh aku lupa, aku menyesal tidak menghapal
dan lain sebagainya”
Karena
masih kecewa akhirnya unek-unek pun keluar, aku banyak bicara hari itu, dan
anak-anak hanya diam “ mana bisa kalian
mendapat nilai do re mi, sementara ibu telah memberikan materi dan latihan-latihan
pada kalian, kita memang disini di tempat yang jauh dari kota. Tapi jika kalian
punya mimpi dan harapan akan masa depan, kalian bisa menggapai impian kalian
dan meraih cita-cita kalian. Dan semua orang akan tahu siapa kalian, apa kalian
punya cita-cita? Apa kalian tidak ingin bangkit dari keterpurukan. Ini saatnya
kalian belajar dengan sungguh, kelak kalian akan menggapai apa yang kalian
impikan. Tolong kerja samanya, ibu datang dari jauh untuk membimbing kalian,
sampai ibu kecelakan di jalan di serempet mobil hingga terguling, ibu saja yang
datang dari jauh 1 jam perjalanan, begitu semangat mengajar kalian. Kalian begitu
mudah bilang aku tak menghapal, aku lupan dan ini itu. Ilmu yang saat ini
kalian pelajari adalah untuk kalian, ibu percaya kalian bisa menjadi orang
besar asal kalian peduli terhadap pendidikan kalian. Dan bukankah Allah Swt
mewajibkan kita untuk menuntut ilmu? Ibu harap kalian serius, jika nilainya
begini lagi ibu tak akan menolong kalian lagi, jika tidak naik kelas kalian
sendiri yang akan malu”.
Aku
masih penasaran kenapa anak-anak begitu tidak memperdulikan pendidikan. Pak Ayi
bilang, kebanyaka anak-anak berasal dari kelurga yang berantakan, latar
belakang mereka rata-rata berasal dari keluarga kurang berada dengan kehidupan
yang kurang harmonis di rumah. Mendengar itu aku agaknya memang harus bersabar
dan bersikap lembut, aku berfikir aku harus jadi sahabat mereka dulu, aku akan
membuat mereka nyaman dahulu dengan begitu barang kali mereka akan senang
belajar dengan aku. Akhirnya aku mendekati mereka dengan caraku, memberi
perhatian dan jika ada yang nakal, aku tahan untuk marah. Remidi pun telah
tiba. Sebelum tes lisan, aku menuyuruh semua anak keluar dari ruangan kelas,
hanya anak yang di panggil yang berada di kelas. Tiap anak aku Tanya hal yang
sama mengapa tidak menghapal? Mengapa nilai nya kecil? Dan mengapa mereka tidak
menegrti, sedikit banyak aku bertanya keadaannya di rumah. Karena memang mereka
polos barangkali aka nada yang jujur dengan pertanyaanku. Ketika tes lisan
berlangsung tiap anak berhasil menjawab pertanyaanku, meski wajah mereka
terlihat tegang. Hanya ada satu anak yang aku belum bisa membaca, aku kaget
anak SMP kelas 1 belum bisa membaca. Aku mengajarkan dia untuk mengeja abjad,
belajar menulis. Aneh anak usia 14 tahun bisa membaca, dia terlihat normal. Tapi
masih belum terjawab alasan detailnya. Saat ini aku masih mempelajari kasus
buta hurup tapi bisa masuk ke SMP. Sementara setelah remidi, anak-anak semakin
rajin. Setiap habis pelajaran aku memberikan pertanyaan, dan mereak lebih rajin
dan tidak pelupa lagi. Hanya satu anak yang belum menegrti. Bagaimana bisa
membaca dan menulis saja tidak bisa, berhitung 3+3 saja masih belum bisa, aku
masih ingin lebih tahu kenapa dia begitu. Tapi jika di kelas dia diam, tapi
jika di luar kelas dia nakal, bahkan ketika aku mengajar kelas 2 dengan tidak
sopan dia masuk ke kelas dan keluar lagi. Anak itu masih membingungkan, dan aku
ingin tahu kenapa bisa begini? Tapi aku perlu waktu untuk mnegetahuinya, perlu
pendekatan khusus, aku harus bisa menemukan alasannya dan cara menegajarnya. Sebenarnya
aku kecewa sama sekolah SD yang meluluskan anak yang masih buta hurup. Ini adalah
tugas guru, dan berat bukan Cuma menyampaikan dan memeberi nilai lalu
meluluskan, ini tanggung jawab kita. Bagaimana bisa anak seperti ini dinyatakan
lulus dan merasa kesulitan belajar di SMP. Aku masih mencari tahu mengapa bisa
begini, sementara anak yang lain begitu antusias belajar, anak ini masih
kelihatan tak peduli dengan semua mata pelajaran. Meski mengajar IPA tak ada
salahnya aku mengajarkan dia membaca daripada dia tak mengerti semumur hidup. Ini
tugas kita, tapi kesadaran akan pendidikan adalah tanggung jawab masing-masing.
Kalo gak sadar-sadar ya kita berusaha untuk mengingatkan. Jika aku berhasil
mencari tahu dan memecahkan masalah anak buta hurup bisa masuk SMP, nanti akan
di bagikan disini agar kita sama-sama membrantas kebodohan dan buta hurup. Pendidikan
adalah salah satu kunci memajukan bangsa, dan pendidika juga mampu mengusir
kemiskinan. Jika kita sadar akan pentingnya pendidikan, maka ekonomi pun tidak
akan sesulit ini. Sepertinya seperti itu, karena lingkungan di tempat itu
minimnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan ekonomi mereka di bawah
rata-rata. Semoga bisa berhasil merubah pola pikir mereka tentang apa yang
mereka yakini, bahwa makan tak butuh ilmu. Salah harus di luruskan ini
0 komentar:
Post a Comment