Beberapah hari yang
lalu seorang teman bercerita, tentang seorang ibu yang menggendong anaknya yang
masih bayi sekitar usia 1 tahunan dan tangan yang satunya lagi memegang anaknya
yang sekitar usia 4 tahunan.
Di sudut jalan seorang
ibu berdiri bersama anaknya, pakaiannya lusuh dan wajahnya begitu pula seperti
menyimpan luka dan sakita hati yang besar. Temanku mengawasinya dari jauh, dia
terus melihat. Kenapa saat memberhentikan angkot, tak satupun angkot yang
berhenti. Kemudian temanku menaghampirinya dan bertanya “ bu mau kemana? Kenapa
angkotnya gak berhenti?” sambil melihat kondisi ibu dan anak ini, wajahnya
penuh air mata sedangkan sang anak wajahnya kotor seperti belum mandi, badan
mereka pun agak bau. Seketika si ibu semakin berderai air mata, lalu
menceritakan duka nestapa yang menimpanya.
“saya mau pulang neng
ke Pangandaran, tapi saya gak punya uang. Sudah beberapa hari saya di Tasik dan
ga bisa pulang” sambil menangis dan melihat wajah anaknya, terlihat sekali
mereka kelaparan penuh harap ada uluran tangan yang bisa membantu mereka. Lalu
teman saya bertanya “ ibu selama di Tasik tinggal dimana? Tidur dimana?”. Ibu
itu menjawab “ saya tadinya mencari suami saya diantar kakak saya dari
Pangandaran, saat sampai Tasik kakak saya pergi lagi ke Pangandaran , suami
saya kerja di Tasik, sudah lama dia tidak memberi kabar dan tidak pulang.
Ternyata pas saya mencari dan bertemu sama dia, dia sudah menikah lagi. Dia
sedang bersama istri barunya saat itu, dari situlah saya di usir dan di
marahinya. Niat saya ingin mencari suami, agar rumah tangga saya baik – baik
saja, kasian anak-anak.” Wajahnya begitu memelas, pakaian lusuhnya pun menghias
dan menambah duka mereka. Teman saya merasa tergerak hatinya, lalu dia mencari
pertolongan terhadap orang sekitar. Tapi tak ada satupun yang menlongnya hampir
putus asa, tapi hatinya begitu kuat untuk membantu. Lalu teman saya memohon dan
menyuruh agar ibu itu tidak kemana-mana, teman saya akan pulang meminta bantuan
terhadap keluarganya “ bu, tolong jangan kemana-mana ya! Saya mau pulang dulu,
rumah saya dekat ko bu. Ibu tinggal di sini jangan kemana-mana?”
Ibu itu ditinggalkan
sementara teman saya pulang meminta bantuan terhadap keluarganya, akhirnya
teman saya membawa uang sebesar Rp 60.000,00 , pakaian untuk ibu itu dan kedua
anaknya serta makanan. Saat tiba di tempat sang anak yang berusia 4 tahun
terlihat sedang diberi makanan oleh petugas kebersihan, teman saya tersenyum
dan menghampiri mereka. “ ibu ini ada pakaian, tolong ibu ganti di wc umum biar
enak dilihat dan mengganggu orang, ini juga ada sedikit makanan untuk ibu dan
anak-anak ibu. Ini bu maaf saya gak bisa antar ibu ke Pangandaran, ini ada
ongkos buat ibu pulang. Bu ongkos ke Pangandaran berapa ?” ibu itu menangis dan
bererai air mata, seektika bibirnya bergetar dan tak bersuara hanya bisa
mengusap kepala kedua anaknya, mungkin dalam hatinya dia bersyukur bisa pulang
atau berfikir kenapa orang lain bisa sepeduli itu sedang suaminya dimana. Saya
yakin hati wanita mana yang kuat melihat suaminya bersanding dengan wanita
lain, apalagi ini sampai hati mengusir dan memarahinya. Lambat laun tangisnya
pun reda, hanya bisa terucap terimakasih tiada henti. Lau teman saya juga
memberhentikan angkot 05 jurusan Indihiang “ bank ini ongkosnya 5rb, tolong
antar ibu ini ke tempat tujuan untuk
naik bis jurusan Pangandaran” lalu ibu dan anak itu naik angkot.
Tak habis pikir seorang
suami yang berhianat terhadap istrinya dan tega menelantarkan anaknya tidur di
jalanan, tak sedikitpun untuk mencarinya kembali atau berfikir apa yang akan
terjadi mereka di jalan kelaparan ?
Seorang suami adalah
pemimpin bagi dirinya sendiri, istri dan anaknya. Harusnya mampu dan wajib
memberikan perlindungan dan hak kewajibannya terhadap keluarganya.
Bagaiamana pantas di
katakan seorang pemimpin? Memimpin dirinyapun tak mampu, sikap ini pecundang
dalam dirinya lebih besar di bandingkan dengan sikap ksatria seorang laki-laki
seharusnya.
Para ayah/lelaki di
dunia, nikah bukan untuk sesaat apalagi di ucapkan atas nama Allah berjanji di
hadapan Allah dan kerabat, dan nikah bukan sekedar bikin anak lalu lepas
tanggng jawab. Suatu saat anak yang anda buang bahkan akan anda cari, di saat
anda mencari dan menemukannya ada kemungkinan besar dia akan menelantarkan anda
di masa tua renta anda, karena ada perasaan sakit yang membekas tak kunjung
sembuh.
Karena akan dimana kita
berada pada posisi yang sama, saat kita bebruat dzalim terhadap yang lain.
Saya juga punya cerita,
kebetulan ini tentang tentangga saya. Dia menikah dengan istri pertamanya,
setelah punya anak sekita 4 dia menikah lagi, tepat dengan seorang wanita yang
masih tentanggaan. Singkat cerita semua anaknya sudah besar dan memiliki anak,
apa yang terjadi saat menjelang tua? Tak satupun anaknya yang peduli sikap acuh
yang luar biasa, bahkan saat sakitpun tak ada satupun yang memberinya makan.
Hingga pada akhirnya ia meninggal di kamarnya karena kelaparan. Ini bukan
bohong tapi benar adanya.
Coba anda perhatikan,
adakah seorang ayah yang hidupnya bahagia di masa tuanya? Sedang saat muda ia
menelantarkan anak dan istrinya.
Jangankan di dunia, di
khirat kelakpun ia tetap di minta pertanggung jawaban atas perbuatannya.
Lalu bagaiaman Hukum
suami/ tugas dan kewajiban suami terhadap anaknya?
1.
Harus memelihara dan memenuhi kebutuhan
dalam hidupnya
2.
Menjaga dan mendidiknya dengan baik,
saling mengingatkan bersama istri
3.
Menjaga keselamatan dan kehormatan
keluarga
Seorang suami wajib
hukumnya menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dan mencontoh
Rasululloh sebagai suri tauladan
0 komentar:
Post a Comment