Home » , » CINTA BUKAN PERMAINAN DAN BUKAN TEMPAT SINGGAH SEMENTARA

CINTA BUKAN PERMAINAN DAN BUKAN TEMPAT SINGGAH SEMENTARA

Sedikit banyak cerita tentang kita menemani langkah kita untuk meraih mimpi. Di setiap perjalanan dalam menggapai tujuan tentulah kita saling melibatkan, karena rasa saling membutuhkan dan hal yang sudah terbiasa kita berjalan berdampingan. Waktu memang mampu merubah segalanya, kita yang selalu beridiri dan berjalan bersama akhirnya jatuh pada rasa yang sama. Namun perasaan kita memang tidak akan pernah menyatu, itulah pikir kita. Mustahil kita bersatu karena kita hanya sebagai sahabat. Kita terbiasa berdampingan karena memang kita punya tujuan yang sama. Namun ketika aku berpikir bahwa cinta mampu menyatukan kita ternyata aku salah hingga berpikir seperti itu. Setiap waktu aku lalui untuk beraharap agar kita bisa menyatu, bukan karena terbiasa selalu bersama namun aku pikir kamu adalah salah satu kebutuhan hidup yang paling utama. Karena kamu merupakan harapan terbesar dan dorongan yang memberi semangat dalam setiap detik kehidupan ku. 
Pernah suatu hari kamu ceritakan tentang rasa, kata kamu menyayangiku dan jangan meninggalkanmu membuat hati ini terkunci dan tak mampu membuka ke lain hati. Kata sayang dan jangan tinggalkan ternyata hanya omongan belaka, ketika kamu berkata bahwa beberapa bulan lagi akan menikah. Hati ini tiba-tiba terasa perih dan kecewa, namun aku tak punya alasan untuk marah meskipun sebenarnya aku berhak untuk marah. Untuk sesaat aku menjauh karena aku pikir ini adalah jalan yang tepat untuk menenangkan diri. Hingga akhirnya ada seorang laki-laki yang sudah cukup berumur mengajakku berkenalan. Dia adalah seorang pengajar sahabatnya temanku saat kuliah. Laki-laki itu berniat serius dan mencari istri. Aku pikir aku tidak bisa membuka hatiku untuk laki-laki yang baru, awal perkenalan aku terkesan cuek, dingin dan ogah-ogahan. Namun laki-laki itu begitu gigih hingga aku merasa yakin untuk menerimanya. Begitu banyak aku belajar dari hal ini, bahwa laki-laki yang serius akan datang ke rumah dan meminta ijin terhadap ke dua orang tua kita, dia rela berjuang dan tak berhenti sampai kita yakin, meski telah yakin dia akan menyusun rencana ke tahap yang lebih serius lagi. Aku bandingkan dengan sahabatku yang mengatakan sayang namun tanpa melakukan apa-apa atau kearah yang lebih jelas. Hingga akhirnya aku ikhlaskan sahabatku dengan orang lain, dan aku berjalan dengan orang yang aku pilih.
Tiba saatnya ketika kita bertemu dan mampir di rumah makan, aku bertanya terhadap shabatku, bagaimana rencana pernikahan itu? Dia menjelaskan bahwa rencananya gagal berantakan, karena pihak perempuan menghina mentah-mentah pihak sahabatku. Wajahnya memang memasang wajah kecewa karena menahan emosi dan malu terhadap ke dua orang tua. Aku hanya memberi semangat dan saran-saran kecil agar dia tidak lelah berjuang mencari yang sempurna di matanya. Aku saat itu tak bilang bahwa aku juga memiliki rencana besar bersama orang yang telah ku pilih
Sahabatku jika bertemu memang seperti itu, bercerita dari a hingga z, sikapnya berubah manja dan selalu ingin di perhatikan itu dari jaman dulu yang sempat membuatku tertipu dengan perasaanku sendiri. Kini apapun yang di katakannya aku hanya mendengarkannya dan berusaha untuk tidak mempercayainya lagi. Memang selama hampir 7 tahun kita sedekat ini, berjalan dan berjuang bersama, saling mendukung dan memotivasi tapi tidak membuat kita bersatu.
Aku berpikir aku hanya bagian dari perjalananmu, kita berjalan berdampingan namun kita punya tujuan dan impian yang berbeda. Boleh jadi kita saling berpegang tangan dan saling bahu membahu, namun tempat pemberhentian kita berbeda. Kita akan berhenti di tempat yang berbeda. Aku bukan rencana dalam masa depanmu, aku tak pernah ada dalam tujuanmu. Hingga akhirnya pemikiran yang seperti ini membuat aku lebih nyaman dan membuang perasaan yang tak jelas ini.
Hari berikutnya, dia sahabatku mengirimku pesan dari luar kota. Lalu aku merasa tidak bisa menutupi rencanaku, aku tak mungkin berdusta atau menyembunyikan seperti apa yang selalu ia lakukan kepadaku. Hingga aku katakana semuanya, reaksinya awalnya tenang dalam obrolan masih terkendali, lalu tiba – tiba dia mengatakan bahwa dia membenciku karena alasanku, rencanaku dan impianku. Lalu aku katakana pada dia” aku belajar darimu, saat kamu selangkah lebih maju dari ku, kamu terus bergerak tanpa mempedulikanku”. Lalu dia berkata “ apa kamu sudah siap hidup tanpa aku?” lalu aku jawab “pertanyaanmu aku kembalikan kepadamu apa kamu sudah siap saat itu hidup tanpa aku ketika kamu membangun mimpi dengan orang lain?” lalu dia bilang “tidak”. Aku jawab kembali “ aku meniru langkahmu, inilah jalan yang aku tiru dari jalanmu, sebenarnya saat kamu hendak mempersiapkan rencana besarmu ada seorang laki-laki yang berniat mengajakku hidup bersama, saat itulah aku menerimanya karena kegigihannya. Sudahlah untuk saat ini kita saling mendukung saja.”
Dia bilang dia tak konsentrasi entah apa yang ada dalam hatinya, dia merasa sedih , kesal dan marah setidaknya itu yang ia katakana padaku.
Namun dia tidak tahu, bukan hanya dia yang merasa sakit, aku pun merasakan sakit yang sama saat itu, aku hingga terjatuh dari motor, konsentrasiku hilang, menangis dalam waktu beberapa hari. Namun aku tak mau di bodohi dengan kata-kata yang tidak jelas, setidaknya ia tidak menahanku dan menyakitiku. Setidaknya ia menghargaiku sebagai sahabatnya tak perlu sebagai kekasih yang mau-maunya nyakitin.

Ini jalan kita, semua telah terlambat semua telah berbeda. Aku dengan jalanku, berjalan terus dan tak mau mengengokmu bukan karena aku kejam, tapi aku sudah memilih laki-laki yang berusaha membuatku yakin. Cinta bukan tempat singgah sementara, yang seenaknya kamu datang lalu pergi. Cinta juga bukan mainan yang seenaknya kamu bisa mengukir kata-kata yang kamu ucapkan tanpa hati. Belajarlah menghargai perasaan orang lain, dan jangan karena kamu di cintai kamu bisa seenaknya memperlakukan orang yang mencintaimu. Kesempatan hanya terbuka bagi mereka yang tulus, bukan bagi mereka yang lihai dalam bermain. 
Engkau sahabatku belajarlah menghargai orang lain sebagai bentuk pengehormatan untuk dirimu sendiri. Tak ada lagi alasannmu menahanku untuk berjalan bersama orang lain, ini kali ke dua kamu bermain curang di belakangku. Dulu ketika aku hampir saja menikah kamu katakan jangan menikah, lalu aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan orang itu dengan memilih mendampingi hidupmu, tapi tiba-tiba aku dengar kabar bahwa dalam waktu dekat kamu juga akan menikah, namun renana itu gagal lagi. Jangan pernah bermain curang mungkin inilah alasan kegagalanmu yang selalu bermain curang di belakangku dan mempermaikan perasaanku, meski aku tak membalasmu tapi kegagalanmu adalah peringatanmu sendiri. Jangan pernah bermain curang soal hati.


/>

0 komentar:

.comment-content a {display: none;}