LAKON
FAJAR SIDDIQ
KARYA EMIL SANOSSA
DRAMATIC PERSONAE
MARJOSO
SERSAN
AHMAD
H. JAMIL
ZULAECHA
SEBUAH MARKAS GERILYA, TERLIHAT SEBUAH
RUANGAN, SATU PINTU, SATU JENDELA SEL, MEJA TULIS DAN DUA KURSI DAN SATU
BANGKU, PETI MESIU, HELM DAN RANSEL TERGANTUNG.
MALAM HARI, KEADAAN SEPI, TEGANG,
JAUH-JAUH MASIH TERDENGAR LETUSAN TEMBAKAN DAN IRING MUSIK SAYUP-SAYUP
INSTRUMENTAL GUGUR BUNGA, KEMUDIAN MUNCUL MARJOSO MEMBAWA SURAT, KEMUDIAN DUDUK
MEMBACA. MUNCUL SEORANG SERSAN.
MARJOSO
Jadi,
sudah terbukti dia bersalah.
SERSAN
Ya,
Pak.
MARJOSO
Tidak
berdasarkan kira-kira saja?
SERSAN
Bukti-bukti
telah cukup mengatakan, dan mereka menuntut eksekusi dapat dijalankan sebelum
fajar.
MARJOSO
Menuntut?
Kau kira siapa yang bertanggung jawab
di
sini?
SERSAN
Sudah
terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena si terhukum adalah ........
MARJOSO (cepat)
Adalah
kawanku? ...... Anak dari seorang guru
yang kau hormati? Begitu?
SERSAN
Maaf, Pak.
MARJOSO (mengeluh)
Mereka
pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku masih sempat memikirkan dia,
anak
dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan
baik, itu
adalah
haknya sebagai tawanan.
SERSAN
Maaf,
Pak. Kerap kali terjadi.
MARJOSO
Yaaaaaahh!
Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan antara tugas dan perasaan. Bawa
dia kemari.
SERSAN
Siap,
Pak!
SERSAN
MASUK, MARJOSO MELANGKAH, KEMUDIAN DUDUK. TERDENGAR NYANYIAN DALAM PENJARA.
MARJOSO MARAH)
MARJOSO
Hai!
Siapa yang meraung dini hari?
(NARATOR)
Siapa
lagi kalau bukan si Djaelani pemabuk itu!
MARJOSO
Suruh
dia diam.
(Kemudian sersan
masuk menghadap marjoso, membawa seorang tawanan, sersan diperintahkan keluar
dengan segera. Ahmad menunggu dengan
cemas. Marjoso
(menyuruh duduk)
Ahmad,
kau tak apa-apa, bukan?
AHMAD
Mereka
bilang, kalau bukan kerena kau, aku sudah di satai. Terimakasih atas kebaikanmu
itu.
MARJOSO
Terimakasih
itu tak perlu.
AHMAD
Baiklah,
apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku tawananmu.
MARJOSO (kata-kata
itu menyayat seakan-akan memisahkan
hubungan masa lalu)
Ya
............. kau tawananku.
AHMAD
Tembaklah!
Biar kau puas.
MARJOSO (merasakan itu sebagai sindiran yang tajam)
Itu
perkara nanti. Tapi aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang
semuanya ini dulu.
AHMAD
Apa
yang ingin kau dengar?
MARJOSO
Dengan
maksud apa kau kemari?
(Ahmad membisu)
Jawab
Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang
apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah
prajuritku yang gugur terjebak tipu dayaku ....... Jawablah!
AHMAD (tersenyum dingin)
Tidakkah
kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang
tak terputuskan?
MARJOSO
Jangan
kau coba mengelak, Ahmad!
AHMAD (menegaskan
suaranya)
Aku
ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha.
MARJOSO
Tahukah
kau tempatnya?
AHMAD
Tidak.
MARJOSO
Dari
mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini?
AHMAD
Dari
orang-orang yang pernah datang kemari.
MARJOSO
Hmmmmm.
Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini,
bukan?
AHMAD
Tidak!
Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap.
MARJOSO
Jangan
bohong, Ahmad!
AHMAD
Aku
tidak bohong.
MARJOSO
Di
mana kau ditangkap?
AHMAD
Di
tengah-tengah bulak.
MARJOSO
Mengapa
kau di sana?
AHMAD
Aku
sedang melepaskan lelah.
MARJOSO
Melepaskan
lelah di tengah-tengah bulak? Ha .... ha ... ha ...
AHMAD
Aku
tersasar. Aku belum pernah memasuki daerah ini.
MARJOSO
Waktu
itu sebuah pesawat capung melayang-layang di atas bulak itu pula, bukan?
AHMAD
Ya!
Tapi itu hanya secara kebetulan.
MARJOSO
Engkau
tidak takut ditembak dari atas, Ahmad?
AHMAD
Aku
takut juga.
MARJOSO
Mengapa
kau tidak berlindung?
AHMAD
Aku
berlindung. Aku rapatkan diriku rapat-rapat ke tanah.
MARJOSO (mengambil
sebuah cermin kecil di atas meja)
Ahmad,
ini cerminmu bukan?
AHMAD (gugup
sejurus)
Ya.
MARJOSO
Hm,
pesolek, benar, kau sekarang ...Apa gunanya cermin ini?
AHMAD
Cermin
gunanya untuk mengaca.
MARJOSO
Ada
sisirmu, Ahmad? Kau bawa sisir?
AHMAD
Hilang!
MARJOSO (menatap
Ahmad, tenang)
Ya,
Ahmad. Mengapa engkau bohongi aku? Baiklah kau takut pesawat capung itu
menembakmu, bukan?
AHMAD (tersadar, akan masuk perangkap)
Maksudku
... akan ... aku tidak begitu takut.
MARJOSO Mengapa?
AHMAD
Karena
....... karena .......
MARJOSO
Karena
apa?
AHMAD
Karena
itu hanya pesawat capung.
MARJOSO
Tapi
engkau tiarap juga, bukan?
AHMAD (tak segera menyahut)
.....................Ya.
MARJOSO
Dan
engkau keluarkan cerminmu pada waktu itu. Barangkali kau pikir itu adalah
kesempatan yang baik bagimu untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian
orang melihat pantulan cerminmu bermain ke kiri dan ke kanan
(Ahmad tetap
membisu)
Mengapa
begitu, Ahmad?
AHMAD
Aku
tidak tahu
PERASAANNYA
CEMAS SEKALI
MARJOSO (marah)
Dusta!
Dusta kau!!!
AHMAD (tersentak)
Engkau
toh tahu aku akan berdusta.
MARJOSO (merendah kembali)
Mengapa
engkau dustai aku, Ahmad?
AHMAD
Karena
aku senang untuk berbuat begitu.
MARJOSO (mula-mula perlahan kian lama kian berkobar)
Engkau
binatang yang tak perlu di beri ampun. Bukankah engkau yang membakar pesantren
ayahmu?
AHMAD
Tidak!
Tidak ........ aku tidak membakarnya.
MARJOSO (mengatasi suara Ahmad)
Engkau
tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu
terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu,
kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda
yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad
..... engkau tidak menyesali semua itu?
(terdiam
sebentar-sebentar menarik nafas).
Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa
Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu?
AHMAD
Itu
tanggunganku. Resiko!
MARJOSO (ke
depan)
Oooooooo,
jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air
mata
yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus
terbakar
bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.
AHMAD (tegas)
Tapi,
siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata
”Akan
kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas
dendamnya?
MARJOSO
Diam
kau!
(Ahmad
tertunduk).
Angkat
mukamu,
pengkhianat!
Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan.
Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu.
AHMAD
Aku
tidak sudi memandang muka seorang pembunuh.
MARJOSO (tersentak sejurus)
Angkat
mukamu, pengecut.
AHMAD (mengangkat mukanya perlahan-lahan)
Aku
telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu,
tatkala
kudengar
serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku .... mati. Aku telah
mengangkat
mukaku.
Marjoso.
MARJOSO (setelah berfikir)
Dengarkan
aku, bicara! Pandanglah aku untuk penghabisan kalinya. Kenangkanlah kembali
kawan-kawanmu. Kenangkanlah tatkala mereka dengan sepenuh tenaganya mengangkat
tangan dan menyeruMERDEKA.....MERDEKA!
kemudian mereka tak kuasa lagi mengepalkan tinjunya. Mereka roboh
berlumur darah. Kenangkanlah, betapa api telah memusnahkan mereka.
(UCAPAN
INI MEMPENGARUHI AHMAD, SEHINGGA IA DUDUK TERMENUNG)
AHMAD
Aku
kenangkan itu. Aku menangkan ...... Mereka menang lalu mati. Dan aku .....
Ohhh, kemudian .... Letupan yang dasyat a ... aku terlempar. Aku lihat ayah
.... Terbungkuk-bungkuk dan lari bersama Zulaecha. Aku menyeru mereka ... tapi
tak terdengar. Aku hanya mendengar suaraku sendiri. Aku juga mendengar suara
ayahku. Syahid, ya anakku” kemudian fajar yang memerah, yang kian terang. Aku
lihat ..... Oh, siapa yang akan menuntut balas kematiannya? Siapa?
(menggigil,
tangannya gemetar)
Marjoso!
.....
MARJOSO (memanggil seorang prajurit)
Sersan!
(seorang
prajurit menghadap)
Bawa
tawanan itu ke dalam.
AHMAD (tergagap-gagap)
Marjoso.
Engkaulah .... Engkaulah.....
AHMAD
TAK DAPAT MELANJUTKAN PERKATAANNYA PRAJURIT ITU TELAH MEMBAWANYA. MARJOSO
TERTEGUN, SUARA NYANYIAN TERDENGAR MAKIN KERAS, KEMUDIAN TERDENGAR KETUKAN
PINTU
MARJOSO
Masuk!
.....
(H. Jamil masuk)
Pak
Kyai ....
HAJI JAMIL
Terlalu
terhormat kalau dia di tembak. Seharusnya dia digantung.
MARJOSO
Silakan
bapak duduk. Saya ingin mendengarkan pertimbangan-pertimbangan bapak.
HAJI JAMIL
Pertimbangan
apa? Ragukah kau menggantung dia?
MARJOSO
Bukan
begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus menerima hukumannya.
Namun,
pada saat-saat terakhir, karena bapak adalah ayahnya, saya juga perlu
mendatangkan
bapak
kemari.
HAJI JAMIL
Dia
bukan anakku. Haji Jamil tidak mempunyai anak pengkhianat.
MARJOSO
Harap
diingat, Pak. Malam ini adalah malam terakhir bagi Ahmad. Tentulah bapak
sependapat
dengan
saya, bahwa saat-saat yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah saat
manusia
menghadapi
mautnya. Saat-saat itu memerlukan persiapan
dan bimbingan. Pada saat-saat terakhir, saya ingin dia mati sebagai putra
bapak, sebagai murid Pak Kyai. Saya ingin dia mati bukan sebagai anjing.
HAJI JAMIL
Kutukan
apa yang ditimpakan kepadaku ini? Oh anakku?
MARJOSO
Pak
Kyai!
HAJI JAMIL
Aku
telah besarkan anak itu. Aku turunkan ilmuku, karena dialah yang kuharapkan
segala-galanya. Tetapi, mengapa dia tidak mengerti perjuangan bangsanya
sendiri? Aku sungguh tidak mengerti. Balasan apa yang harus kuterima ini,
Marjoso?
MARJOSO
Pak
Kyai tidak boleh menyesali diri hanya lantaran dia. Beratus-ratus murid bapak,
bahkan beribu-ribu yang senantiasa menyebut-nyebut nama Kyai dengan hormat dan
khidmat. Beribu murid yang akan mewarisi cita-cita bapak, dan meneruskan
cita-cita itu. Marilah kita tidak bicarakan hal itu. Kini kita membicarakan
seorang putra, yang walau betapa sesat
pun, dia masih seorang putra.
HAJI JAMIL (getir)
Bagaimana
harus kujawab, kalau seandainya pada hari pengadilan tertinggi yang Maha Kuasa
bertanya
padaku tentang tanggung jawabku. Mengapa anakmu menjadi musuh bangsaku, Haji
Jamil?
Bagaimana kau mendidiknya?
MARJOSO
Demi
sesungguhnya ,Pak Kyai, bagaimana kita harus melawan suratan Tuhan? Adalah
takdir
semata
kalau Ahmad berbeda dengan ayahnya.
HAJI JAMIL (tersentak agak gusar)
Takdir
semata? Apa yang kau ketahui tentang takdir, Marjoso? Tuhan memberikan
kebaikan-kebaikan kepada kita, Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan kepada kita.
Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan untuk melawan keburukan-keburukan pada kita.
Tuhan memberikan alat-alat yang kita
perlukan untuk memenuhi panggilannya
sebagai makhluk semulianya makhluk.
Tuhan tidak menakdirkan Ahmad sebagaia
musuh bangsanya. Dia sendiri yang berbuat begitu. Dia sendiri yang menentukan
harus mati sebagai dia. Tuhan memberinya akal, mengapa tidak dipergunakan
akalnya untuk menginsyafinya, bahwa perbuatan yang sehina-hinanya di permukaan
bumi ini adalah mengkhianati bangsanya
sendiri.
MARJOSO
Terima
kasih, Pak Kyai.
HAJI JAMIL
Anak
itu harus mempertanggungjawabkan seluruh dosanya.
MARJOSO
Saya
ingin mempertemukan dia dengan ayahnya. Mungkin ini adalah pertemuan kyai yang
penghabisan,
dalam keadaan dia masih mungkin dibimbing ke jalan yang diridhoi Allah,
walaupun beberapa saat sebelum ia harus
mati. Sukakah Pak Kyai memenuhi permintaan saya ini?
HAJI JAMIL (terdiam sejurus)
Dapatkah
aku penuhi permintaanmu itu, Marjoso?
MARJOSO
Mengapa
tidak, Pak Kyai?
HAJI JAMIL
Dapatkah
aku berhadapan dengan anjing yang harus kupangil anakku?
MARJOSO
Pak
Kyai ........... mengapa tidak?
HAJI JAMIL
Tidak,
......tidak! .........Gantung saja dia! Tak perlu aku melihat mukanya lagi.
MARJOSO
Benar-benar
relakah Pak Kyai?
HAJI JAMIL
Aa...,
aku rela!
MARJOSO
Namun,
dialah putra yang pernah Pak Kyai harapkan, dialah putra yang pernah Pak Kyai
bisikkan
dalam telinganya kalimat azan tatkala ia lahir. Masih ada beberapa saat lagi di
mana bapak mungkin bisa mengharapkan sesuatu darinya, penyesalan umpamanya,
atau taubat nasukha.
HAJI JAMIL
Tidak!
Tidak ada gunanya sedikitpun mengharap dalam nama Allah.
MARJOSO
Tidak
inginkah Pak Kyai agar Ahmad mati dengan menyebut nama Allah?
HAJI JAMIL
Tidak!
MARJOSO
Tidak,
Pak Kyai?
HAJI JAMIL(setengah mengharap)
Oh,
Marjoso ............. Aku telah berharap-harap dan harapanku dihancurkan,
dimusnahkannya ..................
MARJOSO
Pak
Kyai, aku mohon sudi kiranya ......
HAJI JAMIL (cepat menyahut)
Tak
perlu, Marjoso, tak perlu aku lihat mukanya lagi.
MARJOSO (berfikir
sejurus)
Baiklah
Pak Kyai, saya sudah menawarkan kesempatan.
(memanggil seorang prajurit)
Sersan!
(seorang
prajurit menghadap)
Sudah
siap regu tembak?
SERSAN
Siap,
Pak!
HAJI JAMIL (bingung dan gugup)
Nanti
dulu, dia akan ditembak sekarang?
MARJOSO
Saya
menundanya hanya untuk memberikan kesempatan pada Pak Kyai.
HAJI JAMIL (mengeluh)
Oh,
Tuhan, mengapa kau timpakan bencana ini kepada hamba-Mu? Hamba-Mu yang
tak
sekejappun melupakan engkau!
MARJOSO
Pak
Kyai!
HAJI JAMIL
Mengapa
justru di akhir hayatku Engkau panggil semua yang kucintai.
MARJOSO
Tawakallah
Kyai!
HAJI JAMIL (menenangkan dirinya)
Asstaghfirullah!
........... Ampunilah aku lantaran menyesali engkau
KEPADA
MARJOSO
MARJOSO (memerintah
Sersan)
Sersan!
Bawa Ahmad menghadap!
SERSAN
Siap,
Pak!
BERANGKAT
MARJOSO
Tenangkanlah
jiwa Pak Kyai.
HAJI JAMIL
Aku
telah kehilangan segala-galanya.
MARJOSO
Kecuali
iman, Pak Kyai
HAJI JAMIL
Yaaaach,
kecuali iman.
KURIR (masuk)
Seorang
anak wanita bernama Zulaecha minta menghadap, Letnan!
MARJOSO (memandang
Kyai seolah meminta pertimbangan)
Zulaecha
Pak Kyai.
SEBELUM
KURIR KELUAR, ZULAECHA SUDAH MEUNCUL DI PINTU
HAJI JAMIL
Mengapa
kau ikut kemari?
ZULAECHA
Aku
ingin melihat abangku.
HAJI JAMIL
Mengapa
kau pedulikan dia?
ZULAECHA
Dia
abangku, ayah, tidak bolehkah aku melihat abangku?
MARJOSO
Tentu
saja engkau boleh menemuinya.
HAJI JAMIL
Tidak!
ZULAECHA
Mengapa
aku tidak boleh menemuinya ayah?
HAJI JAMIL
Anjing
geladak itu segera mampus!
ZULAECHA
Ayah!
..... Ayah mengatakan anakmu Bang Ahmad anjing geladak?
HAJI JAMIL
Itu
lebih baik daripada nama pengkhianat nusa dan bangsa.
ZULAECHA
Tapi
dia anakmu, ayah.
HAJI JAMIL
Zulaecha.
Engkau mencoba mempengaruhi peradilan ini dengan emnghbungkan darah?
MARJOSO
Kholifah
Umar membunuh anaknya sendiri yang durhaka
(menginsyafkan Zulaecha)
ZULAECHA
Ayah,
aku anakmu ........... Dia anakmu. Dia satu-satunya saudaraku. Satu-satunya
.............!
HAJI JAMIL
Cukup!
Pulang kau! Aku rela dia dibunuh. Aku rela dia dilenyapkan. Karena dengan
lenyapnya dia, lenyap pula satu di antara beratus-ratus penghalang untuk
kemenangan republik.
MARJOSO
Terima
kasih, Pak Kyai, izinkan saya menemuinya dahulu.
KELUAR
ZULAECHA
Ayah,
kalaupun dia mati, kepada siapa aku berlindung? Kepada siapa aku harus
menumpangkan
diri, kalau ............ kalau takdir Tuhan menghendaki Ayah kembali kepadanya.
HAJI JAMIL
Zulaecha!
ZULAECHA
Kepada
siapa, Ayah?
HAJI JAMIL
Kepada
Yang Maha Pelindung, Allah SWT.
ZULAECHA
Kalau
pada suatu saat aku minta pertolongan, ayah?
HAJI JAMIL
Kepada
Yang Maha Kuasa!
ZULAECHA
Hanya
itu, Ayah?
HAJI JAMIL
Kepada-Nya-lah
aku serahkan engkau. Bukan saja nanti, tapi sekarang juga! Sekarangpun aku
senantiasa
memohon perlindungan Tuhan bagimu.
ZULAECHA (terdiam sejurus)
Ayah,
kalau seorang datang kepadamu menyatakan taubatnya dan memintakan
perlindunganmu
........ apa yang akan ayah perbuat?
HAJI JAMIL
Aku
doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak punya hak untuk
melindungi orang yang telah banyak dosa.
ZULAECHA
Ayah,
nabipun tak pernah membunuh orang yang telah mencoba akan membunuhnya.
HAJI JAMIL
Aku
bukan nabi!
ZULAECHA
Tapi
kita wajib mengikuti sunnah nabi! Bukankah begitu, Ayah?
HAJI JAMIL
Anakku,
kau mengajari ayahmu, Nak? Tahukah engkau, siapa abangmu itu? Dosa apa yang
telah
diperbuatnya?
ZULAECHA
Aku
tahu, Yah!
HAJI JAMIL
Mengapa
kau membelanya?
ZULAECHA
Karena
dia abangku. Tanpa dia aku akan sendirian.
HAJI JAMIL
Kita
hidup bersama amal kita, anakku. Kita hidup bersama budi kita. Beramallah,
berbudiluhurlah, berbuatbaiklah. Dan engkau tidak akan kehabisan saudara. Kau
akan merasakan bahwa sesungguhnya kemanusiaan adalah satu keluarga. Kemanusiaan
adalah satu darah, satu urat, satu
cita-cita.
ZULAECHA
Ayah,
............... Berilah Bang Ahmad kesempatan untuk menebus dosanya, dengan
amal saleh.
HAJI JAMIL
Kesempatan
itu telah disia-siakan. Bukan aku yang harus memberi kesempatan seperti itu
kepadanya. Tetapi, apakah perjuangan yang meminta korban harta dan jiwa ini,
relaa memberi kesempatan bagi hidup seorang serti dia?
ZULAECHA (mengeluh)
Oh,
ayah, setiap kita pernah bersalah, mengapa tak ada ampun bagi dia?
HAJI JAMIL (cemas)
Tapi,
tidak setiap kita telah membakar pesantrennya sendiri, Zulaecha!
ZULAECHA (memandang tajam ayahnya)
Tidak!
Dia tidak membakarnya.......... oh, ayah, aku tahu apa yang diperbuatnya,
(mendesak) dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, dia tidak membakarnya
.... aku tahu benar, mengertilah, Ayah!
HAJI JAMIL
Tapi
dia telah menunjukkan tempat persembunyian prajurit gerilya itu! Dia yang
menjadi penyebab kehancuran ini.
ZULAECHA
Mungkin
dia tidak rela, sebuah pesantren dijadikan tempat persembunyian prajurit
gerilya.
HAJI JAMIL
Tidak
rela? Pikiran apa itu? Tidakkah ia tahu bahwa di dalam pesantren itu aku
mengajarkan
murid-muridku,
dan apa yang kuajarkan kepada mereka? Aku ajarkan kecintaan kepada agama,
kecintaan
kepada tanah air, dan kecintaan kepada bangsa. Tidakkah ia tahu, di dalam
pesantren itulah aku menyiapkan pemuda-pemuda yang jiwanya ditempa kepercayaan
tauhid, yang mewajibkan kita bertahan, bersatu, dan bila diserang wajib kita
balas serangan itu, oleh karena Islam tidak rela dijajah siapapun.
ZULAECHA (terdiam
sejurus)
Ayah,
masih ingatkah ayah tatkala ibu tewas, tubuh itu hancur oleh peluru.
HAJI JAMIL
Itu
bukan salah siapa-siapa. Kematian ibumu, salahnya ibumu sendiri.
ZULAECHA
Tapi,
siapakah yang menewaskan ibu, ayah? Siapakah yang menembaknya, ayah?
HAJI JAMIL
Sudah
kuperingatkan supaya ibumu jangan lari, tatkala kita terkepung musuh, sebab hal
itu bisa
menunjukkan
tempat persembunyian prajurit kita.
ZULAECHA (mendesak
terus)
Tapi,
siapa yang menembak? Aku ingin jawaban ayah. Siapa yang menembak?
HAJI JAMIL
Ibumu
tidak dapat menguasai ketenangan jiwanya dan lari.
ZULAECHA
Dan
kemudian serentetan tembakan, dan ibu jatuh, rubuh tak bangun-bangun lagi.
(nada keras) Peluru siapakah yang merubuhkannya? Peluru siapa?
HAJI JAMIL (tegang menahan perasaan)
Peluru
Marjoso!
ZULAECHA
Ya.
Peluru dari murid yang paling ayah kasihi, lebih dari mengasihi anaknya
sendiri.
HAJI JAMIL
Tapi
itu adalah hak Marjoso untuk berbuat begitu, apa artinya satu jiwa bagi
beribu-ribu jiwa yang dalam tanggungannya.
ZULAECHA
Namun
dia adalah penyebab kematian ibu. Orang itu masih ayah lindungi juga, ayah beri
tempat
persembunyian
di pesantren. Dapatkah abang disalahkan, kalau sejak saat itu dia mendendam?
Karena
dendam itulah dia menunjukkan tempat persembunyian Marjoso, tapi pesantren itu
terbakar
semuanya. Belandalah yang membakarnya, bukan Ahmad. Dapatkah Bang Ahmad disalahkan? Karena dendam sudah menutupi
seluruh kesadarannya. Sadarlah, ayah!
HAJI JAMIL (mengeluh)
Begitu
banyak korban telah jatuh ......
ZULAECHA
Tapi
apakah ia sengaja memusuhi perjuangan, atau hanya memburu musuh pribadinya
karena dia
butuhkan,
dan dia butakan dendam, ia hanya akan melepaskan sebutir peluru pada dada
pembunuh ibunya, tapi malang, Bang Ahmad tertangkap, dan kini dia harus mati
sebelum tuntutannya terpenuhi. Salahkah dia kalau begitu mencintai ibunya?
(menyerang
terus)
Ayah,
mintalah kebebasan baginya. Marjoso adalah murid ayah. Pergunakan pengaruh ayah untuk kebebasan anakmu Ahmad.
Dia tidak bersalah, satu-satunya kesalahan dia adalah terlalu cinta kepada
ibunya.
HAJI JAMIL (komat-kamit sendiri)
Dapatkah
..... Dapatkah aku berbuat begitu?
ZULAECHA
Ayah
harus berbuat begitu.
HAJI JAMIL (marah)
Mengapa
aku harus berbuat begitu, Zulaecha?
ZULAECHA
Karena
dia adalah anakmu.
HAJI JAMIL
Hanya
karena dia anakku?
ZULAECHA
Karena
dia kini menderita, Ayah!
HAJI JAMIL
Bagaimana
dengan korban-korban yang telah tewas lantaran dia? Bisakah mereka mengijinkan
saya?
ZULAECHA
Ini
semata-mata korban, Ayah.
HAJI JAMIL
Kita
semua adalah korban. Korban dari keserakahan suatu bangsa yang ingin menjajah
dan
mengisap.
Justru itu kita berjuang, menghancurkan mereka, kita berjuang agar bumi kita
yang
kaya-raya
ini tidak menjadi tempat berlaganya serigala-serigala
lapar yang menamakan dirinya
manusia.
Zulaecha, mengapa kau bicara tentang korban?
(Zulaecha akan
bicara tetapi Haji Jamil segera menggerakkan tangannya)
Jangan
sela aku dulu!
ZULAECHA (mulai berbisik)
Namun
Ayah, .............. Ayah…
HAJI JAMIL (mengangkat
suaranya)
Jangan
kau perlemah hatiku. Tidak! Aku serahkan anak laki-lakiku satu-satunya untuk
revolusi, atau sebagai pahlawan, atau sebagai pengkhianat, namun........aku
serahkan dia.
MARJOSO (masuk dengan tenang)
Yah,
dia boleh mati sebagai pengkhianat atau panglawan, sebab revolusi hanya
mengenal dua ini, pahlawan revolusi atau pengkhianat revolusi. Zulaecha! Engkau
tidak boleh membawa persoalan kematian ibumu, dalam persoalan abangmu. Revolusi
tidak mengenal arti korban perseorangan, revolusi tidak mengenal siapa bapak,
ibu atau anak. Revolusi hanya mengenal pengkhianat revolusi atau pahlawan
revolusi.
ZULAECHA (tak terkendalikan lagi, marahnya memuncak)
Kau
pembunuh! Pembunuh! Engkau membunuh ibuku!
Dan kini kau akan membunuh abangku, dua orang yang paling kucintai. Tapi
tunggu, Marjoso! Ibu masih mempunyai anak satu orang lagi.
HAJI JAMIL (mengatasi anaknya)
Zulaecha,
engkau akan menjadi pengkhianat seperti
abangmu?
ZULAECHA (tersedu-sedu)
Aku
tak rela, Ayah ........Aku tak rela.
HAJI JAMIL (menenangkan)
............. Diamlah, Anakku, ........
Diamlah.
MARJOSO (penuh perasaan)
Apalah
artinya korban satu atau dua jiwa yang kita cintai untuk perjuangan suci ini?
HAJI JAMIL
Marjoso,
maafkan adikmu, Nak!
ZULAECHA (bangkit dari isakannya dan mengancam)
Tidak!
Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh.
MARJOSO (memandang jauh ke depan)
Zulaecha,
perlukah aku bangga-banggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku
katakan bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami kesedihan
yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap Belanda, dan meninggal dalam
penjara.
HAJI JAMIL
Marjoso!
Benar, Nak?
MARJOSO (tak bergerak)
Zulaecha,
kalau engkau menuntut kematian ibumu lantaran perbuatanku,
sesungguhnya
telah aku penuhi permintaan itu. Aku berikan arwah ibuku untuk arwah ibumu,
karena
abangmu jua yang menyebabkan kematian mereka, dia yang telah menyebabkan aku
menjadi sebatang kara, tetapi perlukah aku katakan itu semua? Namun aku telah
relakan ................ kedua orang
tuaku. Seperti aku telah relakan diriku untuk revolusi besar ini. Aku memohon,
semoga darah mereka yang mengalir akan mempercepat datangnya fajar kemenangan
yang diharap-harapkan tujug puluh juta bangsa.
HAJI JAMIL
Jangan
kau lemahkan hatimu, anakku, jangan kau lemahkan.
MARJOSO
Kini
Pak Kyai satu-satunya orang tuaku.
HAJI JAMIL
Sejak
dulu kau adalah anakku.
ZULAECHA
MENAHAN ISAKNYA, MENGANGKAT KEPALA, BERDIRI AKAN BERBICARA TETAPI KATA-KATANYA
TAK DAPAT KELUAR KEMUDIAN LARI MENINGGALKAN TEMPAT ITU. HAJI JAMIL TAK SEMPAT
BICARA. MARJOSO MENARIK NAFAS
MARJOSO
Kini
tiba saatnya Pak Kyai, tibalah saatnya bertemu dengan Ahmad.
HAJI JAMIL (berat menjawab)
Baik,
bawalah kemari.
MARJOSO (bergerak
ke mejanya dan diam sejenak, kemudian memanggil
seorang prajurit) Sersan! Bawa tawanan itu kemari.
SERSAN (datang
menghadap)
Siap,
Pak!
MARJOSO
Bawa
tawanan itu kemari!
SERSAN
Siap
Pak!
KEMUDIAN
PERGI
MARJOSO
Kiranya
Pak Kyai dapat memberinya nasihat terakhir semoga ia menginsyafi
kesalahan-kesalahannya.
SERSAN MASUK MEMBAWA AHMAD MENGHADAP MARJOSO. AHMAD
TERKEJUT MELIHAT AYAHNYA DI SITU, KEMUDIAN MEMBUANG MUKA
HAJI JAMIL (menatap
wajah anaknya)
Ketika
pesantren itu dalam kobaran api, aku melihat jiwa merintih. Jiwa-jiwa yang igin
menuntut balas, namun tak berdaya lagi. Pada saat itu aku memohon kepada Tuhan
YME ...... ” Ya, Allah, bawalah dia yang telah membakar rumah ini tempat
hamba-Mu mengagungkan nama-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu, bawalah dia kepadaku
agar aku bisa menyampaikan hasrat mereka yang tak kuasa lagi mengangkat tangan
untuk menuntut keadilan, dan kini Tuhan
telah mengabulkan. Dia ... Dia adalah anakku sendiri, darah dagingku sendiri.
(sejurus
ditatapnya anaknya)
Ahmad!
Berlutut kau! Berlutut! Mintalah ampun kepada bumi tanah-airmu, tanah air yang
telah kau khianati.
AHMAD (tak berperasaan)
Aku
tidak mengkhianati tanah airku.
HAJI JAMIL
Tanganmu
berlumur darah, dan darah itu adalah darah kawan-kawanmu sendiri, Ahmad.
AHMAD
Aku
tidak pernah membunh seorangpun.
MARJOSO
Ya,
memang kau tak pernah membunuh seorangpun dengan tanganmu. Tapi khianatmu!
Jiwa
budakmu! .... Jiwa budakmu!
AHMAD
Kenapa
aku tidak boleh membunuh musuhku? Kenapa aku tidak boleh membunuh, membalas
dendam
kematian ibuku? Apakah harganya aku sebagai anak laki-laki, kalau pembunuh
ibuku
dibiarkan
saja tanpa suatu pembalasan?
MARJOSO (bangkit memukul meja)
Kau
tak berhak memakai alasan itu untuk mempersuci dirimu!
AHMAD (meludah benci)
Di
mataku engkau tak berharga sedikitpun, Marjoso.
HAJI JAMIL
Ahmad!
AHMAD
Ayah
akan membela dia?
HAJI JAMIL
Ya.
Ayah akan membela dia, lantaran dia benar.
MARJOSO
Engkau
selalau membawa soal ibumu, baik, Ahmad! Siapa yang telah menunjukkan tempat
persembunyian
kedua orang tuaku? Siapa yang telah menyuruh mereka untuk menjebakku? Jawab!
Siapa?
AHMAD (tegas)
Aku!
HAJI JAMIL
Oh,
Ahmad, di mana lagi hatimu?
MARJOSO
Tapi
kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku ditangkap dan mereka tak
ada lagi kini. Mereka mangkat akibat siksaan-siksaan yang keji.
AHMAD (gemetar)
Tidak!
............... Tidak! ..............
MARJOSO
Mengapa
tidak? Mereka adalah korbanmu. Sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban
berjatuhan
karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja)
Ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar
pistol itu ke
hadapan
Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri)
Marilah
kita habisi dendam di antara kia.
AHMAD
DIAM TERPAKU, PISTOL DI TANGAN BELUM DIAPA-APAKAN,
MARJOSO BERGERAK MENJAUH. HAJI JAMIL TERPAKU TAPI TAK SEGERA MENENGAHI KEDUANYA
HAJI JAMIL
Jangan!
Jangan kalian saling membunuh. Kalian bersaudara,
kalian adalah anakku.
MARJOSO
Kalau
aku harus mati lantaran pelurunya, Pak Kyai, aku harus ikhlas mati untuk
meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa dalam perjuangan ini tidak
harus diperhitungkan untung rugi
perseorangan.
Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang, bahwa sebab yang akan
menggagalkan
revolusi ini ialah, manakala orang masih tidak meleburkan dirinya sendiri ke
dalam leburan yang tidak lagi mengenal siapa ayah, siapa ibu, dan siapa itu
saudara.
HAJI JAMIL
Marjoso,
anakku, kau tidak boleh mengorbankan diri untuk manusia yang begini rendahnya.
MARJOSO
Korban
telah cukup banyak, Kyai. Seorang demi seorang kawan-kawan gugur lantaran soal
dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut bersalah juga Kyai
(keterangan ini
meliputi ketiga orang itu. Ahmad tampak tak dapat menguasai dirinya, Marjoso
mengangkat pistolnya, Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa dalam
kecemasan)
Angkat
pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dlam kubur. Aku akan
menghitung
sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu.
AHMAD
TIDAK MENJAWAB, IA MENGANGKAT PISTOLNYA
TAPI JELAS TANGANNYA MULAI GEMETAR. MARJOSO MENATAPINYA DENGAN TENANG. JARAK
MEREKA KIRA-KIRA EMPAT LANGKAH DIPISAHKAN OLEH MEJA, HAJI JAMIL BERDIRI DI
TENGAH-TENGAHNYA
HAJI JAMIL
Nah,
mulailah nembak kalian berdua. Mulailah menembak
Ahmad, mulailah menembak Marjoso!
(kedua-duanya
tak beegerak, mulai menurunkan pistolnya.
Marjoso terpaku diam, keringat mengalir di dahinya)
Kalian
orang-orang yang dikuasai dendam dan
nafsu.
AHMAD (sekonyong-konyong berseru dan berlutut,
menjatuhkan badannya di meja dan menangis. Air mata mulai mengumpul, Haji Jamil
menghampiri dan kemudian kedua orang itu, ayah dan anak saling berpelukan
dengan mesranya)
Ayah!
.....
HAJI JAMIL
Ahmad
............... oh, Ahmad ......... kau anakku! Kau anakku!
AHMAD (tak bisa menguasai dirinya)
Ayah,
mengapa aku harus begini?
HAJI
JAMIL (menggeletar)
Aku
serahkan engkau kepada Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni engkau, aku ampuni
dosamu
kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain
pertanggungjawabkan sendiri terhadap
Tuhanmu.
Engkau anakku. Matilah engkau sebagai anakku! Sebagai seorang muslim yang mengerti
arti taubat, janganlah engkau menangis
karena sedih akan berpisah dengan aku,
tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa!
AHMAD (dengan
penuh keraguan dan penyesalan yang dalam)
Ayah,
....... di manakah adikku Zulaecha?
HAJI JAMIL
Dia
dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.
AHMAD
Ayah,
sampaikan salamku padanya ... agar ia
tetap menjadi patriot bangsa dan pembela tanah air
mengikuti
jejak ayahnya.
MARJOSO
Ahmad,
saatmu sudah tiba!
AHMAD TERSENTAK SEKETIKA TERTEGUN
MEMANDANG AYAHNYA DAN MARJOSO. DENGAN BERAT LALU MELANGKAHKAN KAKI MENUJU
KELUAR DIIKUTI OLEH MARJOSO DAN SERSAN
HAJI JAMIL (mengikuti dengan pandangan penuh arti, kemudian beberapa saat terdengar tembakan tiga
kali, pertanda tamatnya riwayat Ahmad, kemudian Haji Jamil melangkah ke tengah
panggung dengan pandangan yang dalam dan jauh sekali)
..........
Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa
dan
negaraku.
SELESAI